Kamis, 02 Desember 2010
Minggu, 21 November 2010
Jumat, 19 November 2010
Sabtu, 13 November 2010
Pacaran Sesuai Ajaran Islam
![]() |
Pacaran Boleh gak yah?? |
Ditulis oleh Dewan Asatidz
| |
Jumat, 12 November 2010
Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syari. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya ¬pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal in adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya.
Aku memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.
1. Cinta (AI-Hubb)
Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, menganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dari Mughirah bin Su’bah Radhiyallahu ‘anhu berkata ;”Aku telah meminang seorang wanita”, lalu Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku :’Apakah kamu telah melihatnya ?” Aku berkata :”Belum”, maka beliau bersabda : ‘Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu pada akhimya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian berdua’
Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”, bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.
Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dimana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan-perempuan rusak yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira bahwa ‘cinta’ tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.
Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat¬-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta, Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,… “,
(Q.S Ali¬-Imran : 14)
Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma berkata : telah bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :
“Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pemikahan .�?
Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena pandangan’ itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada Fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian ; wanita dan wangi¬-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat�?
( HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi)
Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.
Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat sedikit mereka yang selamat.
2. Rindu (Al-’Isyq)
Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.
Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-Thohawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.
Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.
Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.
3. Cemburu (Al-Ghairah)
Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu ternasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.
Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketik~asuaminya berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan peduli (lihat pada bab 1). Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena gejolak kecemburuan, adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i tidak akan terjadi kecuali karena kelalaian dan kesesatan.
Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu¬-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta ketidaksenangan terhadap madunya.
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Ta’ala jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal tersebut, karena dorongan cemburu.
Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski klta tidak mengetahui secara rinci.
4. Surqa merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Ta’ala :
“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaltu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata scbagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan�?
(Q.S As-Sajdah : 17)
Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tcrsembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh kenikmatan dan rahmat Allah Ta’ala yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.
Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau meraka telanjang dan membuka tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.
Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh (permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka orang¬orang yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan clan keutamaan.
Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-¬sifat yang jelek, yaitu Dayyuuts: Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir ; serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Amr , dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.
(Dikutip darikitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Penulis: Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an, Edisi Indonesia “Tata Pergaulan Suami Istri Jilid I�? Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jog)
Disalin langsung dari situs www.darussalaf.or.id
Ta’aruf Syar’i, Solusi Pengganti Pacaran
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Pertanyaan:
1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?
Jawab :
Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya :
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .
Wallahu a’lam.
Sumber : www.asysyariah.com
Cinta Dalam Pandangan Islam

Arti Cinta
Cinta adalah persaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri. Dan terpautnya
hati org yg mencintai pada pihak yg dicintainya, dg semangat yg menggelora
dan wajah yg selalu menampilkan keceriaan.
Cinta dlm pengertian spt ini mrpk persaaan mendasar dalam diri mns, yg tdk
bisa terlepas dan merupakan sesuatu yg essensial. Dlm banyak hal, cinta
muncul utk mengontrol keinginan ke arah yg lebih baik dan positif. Hal ini
dpt terjadi jk org yg mencintai menjadikan cintanya sbg sarana utk meraih
hasil yg baik dan mulia guna meraih kehidupan sbgmn kehidupan org2 pilihan
dan suci serta org2 yg bertaqwa dan selalu berbuat baik.
Apakah Islam mengakui cinta?
Krn Islam adalah agama yg fitrah, maka Islam mengakui ttg hal ini. Hal yg
sangat mendasar dalam diri manusia. Namun Islam membagi beberapa tingkatan
ttg cinta. Dan tingkatan2 cinta ini akan selalu ada dalam kehidupan ini
sampai saatnya bumi dan seisinya dihancurkan oleh Allah.
Adapun dasar ttg tingkatan cinta dalam Islam, adalah firman Allah pada QS.
9 (At Taubah): 24).
“Jika bapak2, anak2, saudara2, pasangan2, dan kaum keluarga kalian, harta
kekayaan yg kalian usahakan, perniagaan yg kalian khawatirkan kerugiannya,
dan rumah2 tempat tinggal yg kalian sukai, lebih kalian cintai daripada
Allah, Rasul-Nya dan (daripada) jihad di jalanNYa, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan siksaNya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang2 yg
fasik”
Cinta pada tingkat tertitinggi adalah cinta kepada Allah, rasulNya dan
jihad dijalanNya.
Cinta tingkat menengah adalah cinta kepada ortu, anak, keluarga, pasangan
dan saudara.
Adapun cinta yg paling rendah adalah cinta yg lebih mengutamakan harta,
keluarga, daripada cinta kepada Allah, RasulNya dan jihad dijalanNYa.
Hikmah dari Cinta:
1. Cinta adalah proses ujian yg keras dan pahit dalam kehidupan manusia.
Apakah cinta itu dalam perjalanannya akan menghantarkannya kepada jalan yg
mulia atau menghempaskannya kepada jalan yg hina.
2. Jika tidak ada cinta maka di dunia ini tidak akan ada inovasi,
pembangunan dan peradaban.
3. Keberadaan cinta merupakan faktor dominan dalam melestarikan eksistensi
manusia dan interaksinya dengan sesama manusia.
# Ketika cinta diarahkan kpd kebaikan, mk cinta dapat membawa keutuhan,
perdamaian, kebaikan pada kehidupan bermasyarakat.
# Cinta yg ditumbuhkan oleh factor keimanan, maka akan menghasilkan
berbagai hal yg mengagumkan. Dapat mengubah sejarah, menegakkan puncak
kejayaan dan kemuliaan dunia. Sebagai contoh adalah kehidupan generasi
muslim pada masa dahulu.
Dan masih banyak lagi hikmah yg lain dari adanya rasa cinta pada diri
manusia.
Fenomena yg timbul dari tingkatan2 cinta yg ada akan menimbulkan efek yg
berbeda
Pada fenomena tingkatan cinta yg tertinggi, maka akan membuat seseorg
dalam hidupnya untuk selalu mendahulukan cinta kepada Allah , RasulNya dan
jihad dijalannya. Dalam kehidupannya sehari2 tidak ada orientasi selain
kepada Allah. Dia akan selalu merasa yakin bahwa segala sesuatu yg telah
Allah tetapkan adalah yg terbaik bagi manusia Bahwa Allah lebih mengetahui
daripada makhluknya. Kemudian, bagi seseorg yg sudah merasakan nikmatnya
iman, maka dia akan selalu meneladani kepribadian Rasulluh, mencintai
Rasululluh, kmdn dia juga akan mencintai jihad dijalanNya. Akan berjuang
dengan segala apa yg dia miliki.
Firman Allah pada Qs. 28:68.
“Rabbmu menciptakan apa yg Dia kehendaki dan memilih (seorg Rasul diantara
hambaNYa). Sekali2 tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan
MahaTinggi dari apa yg mereka persekutukan (denganNya)
Qs. 33: 36
“Tidaklah patut bagi seorg mukmin baik laki2 maupun perempuan jika Allah
dan RasulNya telah menetapkan bagi mereka suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan yg lain dalam urusan mereka…”
Qs.2:140
“Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?…”
Qs. 2 : 282
“…dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Adapun dampak yg disebabkan oleh cinta tingkat menengah dalam membentuk
karakter individu, keluarga, dan masyarakat telah amat nyata. Jika tidak
Allah ciptakan cinta pada suami –istri maka tidak akan tercipta keluarga,
tidak akan lahir anak-cucu, tidak akan terjadi proses mengasuh, mendidik
dan memelihara anak.Jika tdk Allah ciptakan cinta pada anak, niscaya dalam
jiwanya tidak akan ada semnagat kekeluargaan, tidak akan kokoh iktakan
kekeluragannnya, tidak akan mengasihi saudaranya. Jika tdk Allah tanamkan
rasa cinta pada manusia maka, mk tidak akan tercipta hubungan social antar
bangsa yg dibangun atas prinsip ta’aruf (saling mengenal)
Dengan demikian cinta tingkat menengah ini amat penting untuk menciptakan
kemashalatan pribadi dan keluarga khususnya dan untuk merealisasikan
kemaahalatan antar bangsa dan seluruh ummat manusia pada umumnya.
Firman Allah tentang hal ini terdapat pada Qs. 49:10
“Sesungguhnya orang2 mukmin itu bersaudara…”
Qs. 49 : 13
“ Wahai manusia seseungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari jenis
laki2 dan perempuandan Kami telah menjadikan kalian berbangsa2 dan
bersuku2 agar kalian saling mengenal…”
Hadits riwayat Bukhari-muslim
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berbuat
baik kepada tetangganya .., hendaklah dia menghormati tamunya”
Dan masih banyak lagi ayat dan hadist yg menceritakan tentang hubungan
antar manusia.
Fenomena Cinta tingkat rendah
Cinta jenis ini ada beberapa macam:
1. Mencintai thougut dan sesembahan selain Allah, seperti menyembah
manusai, batu dsb.
Qs. 2: 165
“Diantara manusia ada orang2 yg menyembah tuhan2 selain Allah. Mereka
mencintai tuhan itu sebagaimana mereka ( org2 mukmin yg mukhlis) mencintai
Allah. Adapun org2 yg beriman jauh lebih besar cintanya kepada Allah
(disbanding cinta org2 kafir terhadap tuhan2 mereka)…”
2. Menjalin tali kasih kepada musuh2 Allah.
Qs. 60:1
“Hai org2 yg beriman, jgnlah kalian menjadikan musuhKU dan musuh kalian
sebagai teman2 setia, yg kalian sampaikan kepada mereka (rahasia org2
mukmin) karena kasih sayang (kepada mereka), padahal sebenarnya mereka
telah ingkar terhadap kebenaran (kitab dan Rasul) yg datang kepada
kalian..”
3. Mengumbar syahwat dan berkubang dalam Lumpur kekejian dan kehinaan.
Qs.3:14
“Dijadikanlah indah pada (hati) manusia kecintaan kepada apa2 yg diingini,
yaitu wanita2…”
4. Mencintai ayah,ibu,anak, istri, suami, keluarga, karir, tanah air
melebihi cintanya kepada Allah, RasulNya dan Jihad dijalannya.
Qs.9:24.
“Jika bapak2, anak2, saudara2, pasangan2, dan kaum keluarga kalian, harta
kekayaan yg kalian usahakan, perniagaan yg kalian khawatirkan kerugiannya,
dan rumah2 tempat tinggal yg kalian sukai, lebih kalian cintai daripada
Allah, Rasul-Nya dan (daripada) jihad di jalanNYa, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan siksaNya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang2 yg
fasik”
Nabi salallahu ‘alaihiwassalam bersabda:
“Tidak sempurna iman seseorg dari kalian hingga aku lebih dia cintai
daripada bapak-ibunya, anaknyadan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
5. Menuhankan hawa nafsunya,
Qs. 45:23
“ Bagaimanakah pendapatmu tentang org menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membirakannya sesat berdasarkan ilmuNya?…
Dengan demikian bagi seorang mukmin yg telah diliputi oleh manisnya iman,
maka ia tidak akan rela jika dirinya diliputi oleh cinta pada tingkatan yg
rendah yg akan membunuh karakter manusia dan menghancurkan kemuliaannya.
Bahkan ia akan menjaga kesetiaannya hanya kepada Allah saja. Dia akan
menjaga cintanya untuk tidak akan memberikannya kepada mush2 Islam, Dia
akan menjaga syahwatnya, dan tidak melakukannya dijalan yg bahtil.Dia
tidak akan mencintai kekayaannya, pasangan, anak, orag tuanya,
keluarganya, kedudukannya melebihi cintanya kepada Allah, RasulNya dan
jihad dijalanNya.
Pada akhirnya hanya diri kita sendiri yg akan menentukan pada tingkatan
cinta yg mana kita berada. Dan hal ini hanya Allah dan diri kita saja yg
tahu.
Semoga Allah senantiasa menjaga diri kita agar tidak terjebak pada cinta
tingkat rendah.
Ini saja yg biasa saya sampaikan, mohon maaf atas segala kekhilafan.
Kebenaran hanyalah milik Allah SWT.
**
Sumber: www.kajianmuslimah.wordpress.com
Selasa, 26 Oktober 2010
Senin, 25 Oktober 2010
Kamis, 21 Oktober 2010
Bagian Otak yang Mengendalikan Gerak Kita
"Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka." (Al Qur'an, 96:15-16)
Ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" dalam ayat di atas sungguh menarik. Penelitian yang dilakukan di tahun-tahun belakangan mengungkapkan bahwa bagian prefrontal, yang bertugas mengatur fungsi-fungsi khusus otak, terletak pada bagian depan tulang tengkorak. Para ilmuwan hanya mampu menemukan fungsi bagian ini selama kurun waktu 60 tahun terakhir, sedangkan Al Qur'an telah menyebutkannya 1400 tahun lalu. Jika kita lihat bagian dalam tulang tengkorak, di bagian depan kepala, akan kita temukan daerah frontal cerebrum (otak besar). Buku berjudul Essentials of Anatomy and Physiology, yang berisi temuan-temuan terakhir hasil penelitian tentang fungsi bagian ini, menyatakan: Dorongan dan hasrat untuk merencanakan dan memulai gerakan terjadi di bagian depan lobi frontal, dan bagian prefrontal. Ini adalah daerah korteks asosiasi…(Seeley, Rod R.; Trent D. Stephens; and Philip Tate, 1996, Essentials of Anatomy & Physiology, 2. edition, St. Louis, Mosby-Year Book Inc., s. 211; Noback, Charles R.; N. L. Strominger; and R. J. Demarest, 1991, The Human Nervous System, Introduction and Review, 4. edition, Philadelphia, Lea & Febiger , s. 410-411)
Buku tersebut juga mengatakan:
Berkaitan dengan keterlibatannya dalam membangkitkan dorongan, daerah prefrontal juga diyakini sebagai pusat fungsional bagi perilaku menyerang…(Seeley, Rod R.; Trent D. Stephens; and Philip Tate, 1996, Essentials of Anatomy & Physiology, 2. edition, St. Louis, Mosby-Year Book Inc., s. 211)
Jadi, daerah cerebrum ini juga bertugas merencanakan, memberi dorongan, dan memulai perilaku baik dan buruk, dan bertanggung jawab atas perkataan benar dan dusta.
Jelas bahwa ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" benar-benar merujuk pada penjelasan di atas. Fakta yang hanya dapat diketahui para ilmuwan selama 60 tahun terakhir ini, telah dinyatakan Allah dalam Al Qur'an sejak dulu.
Langganan:
Postingan (Atom)